Dua Belas Jam Sebelum Mati.

Dua belas jam lagi saya  akan mati. Begitu yang saya rencanakan dalam hidup saya hari ini. Saya putus asa, kuliah saya berantakan dan orang tua sudah mengeluh akibat hidup susah karena saya. Adik saya pun jadi pemberontak karena saya. Dua belas jam lagi saya akan mati. Entah dengan cara apa belum terpikirkan oleh saya. Saya percaya Tuhan, dan sebenarnya saya pun takut untuk mengakhiri hidup saya. Ketakutan saya mengalahkan ketakutan apapun. Hari ini otak merajai hidup saya. Dan memegang kendali atas hidup saya yang sudah berantakan.



Dua belas jam lagi saya akan mati. Tapi bukan dengan minum racun serangga. Kalau racun itu tidak mempan, toh saya harus hidup lagi dan mengalami realita hidup yang menurut bayangan otak saya pasti lebih parah. Saya juga tidak mau menusuk tubuh saya dengan pisau. Rasanya pasti menyakitkan dan berdarah-darah. Atau mati gantung diri. Kasihan kalau nanti orang-orang yang hidup membersikan mayat saya. Saya sedang depresi berat. Dan mati mungkin adalah cara utama. Saya sudah mencoba bunuh  diri sejak usia 7 tahun. Mungkin akibat dari tontonan yang salah saat itu. 


Mungkin kamu berfikir kalau saya tidak punya iman. Tapi saat  kamu terdesak kadang iman pun terkalahkan, seperti yang  saya alami saat ini. Dalam hal ini bullshit kalau ada yang bilang kalau ini adalah bisikkan setan. Semuanya berasal dari otak dan turun ke hati yang kondisinya sudah porak-poranda dan ketakutan yang amat sangat. Semuanya asalnya dari saya sendiri sebagai manusia. Jadi kenapa harus menyalahkan setan.
Saya berada dikamar galap, dan hari ini saya enggan menyalakan lampu atau berbicara, toh dua belas jam lagi saya berencana akan mati. Entah nanti jadi atau tidak. Mungkin saja niat saya yang sekarang sedang bulat sekali mendadak menjadi sebuah titik dan hilang tak berbekas akibat ketakutan akan mati dan ketakuatan akan sebuah tempat yang dinamakan neraka, yang katanya apinya tidak akan habis dan siksaannya tiada akhir. Kalaupun masuk neraka toh semuanya juga murni kesalahan saya. Karena saya tahu semasa saya hidup. Saya tahu kalau pilihan yang saya ambil selama hidup itu salah, namun saya tetap mengambilnya juga.


Saya tidak mau membayangkan ibu saya, adik saya, ayah saya atau orang lain yang saya cintai. Karena akan mengurungkan niat saya untuk mati bila membayangkan mereka. Kalaupun nanti setelah dua belas jam berlalu saya tetap hidup. Toh pasti saya hidup dengan tingkat pesimistis yang tinggi. Saya memilih mati saja daripada harus gila, kalau saya gila. Orang-orang yang saya cintai akan menanggung malu akibat kondisi kejiwaan saya. Saya sendiri tidak merasa apa-apa, karena kalau gila, hanya tubuh saya yang hidup tapi jiwa saya sudah mati dan membusuk serta dimakan cacing-cacing yang tidak bisa dilihat mata. 


Dua belas jam kurang lagi. Saya masih diam. Atau terkadang membuka alkitab  untuk mencari jalan keluar. Tapi apa dikata ,bila hati sudah tertutup dan otak sudah menolak apapun masukkan dari luar. Tetap saja niat saya tidak goyah. Saya mau mati saja, meskipun mati pun belum tentu enak.


Saya yakin, sekalipun saya mati bunuh diri. Arwah atau jiwa saya tidak akan gentayangan. Saya tidak percaya pada takhayul yang bilang kalau hantu berasal dari jiwa manusia yang mati penasaran. Sekalipun saya sudah mendekat pada kematian. Saya tetap berprinsip kalau hantu-hantu itu dan jiwa manusia yang telah mati itu berbeda spesiesnya. Jadi tidak usah takut. Tidak ada hantu yang berasal dari jiwa orang yang sudah mati. Dua belas jam lagi, begitu lama, tapi pula begitu singkat, saya tidak  berminat menuliskan pesan-pesan terakhir. Lagipula siapa yang peduli dengan pesan terakhir seorang pecundang. Yang memilih mengakhiri hidupnya karena depresi berat. 


Sebenarnya saya juga tidak mau mati kalau benar-benar ada problem solving dari masalah saya. Saya terlalu takut untuk jujur pada orang tua saya tentang apa yang terjadi sebenarnya pada saya. Saya takut mereka terluka. Cara ini mungkin adalah cara yang paling tidak bertanggung jawab. Karena toh setelah saya mati, cepat atau lambat, mereka akan tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saya. Dan mereka akan terluka juga. Biarlah, setidaknya saya tidak melihat saat itu terjadi. Maafkan saya, maafkan saya. Setidaknya hanya itu yang bisa saya katakana. Tuhan, akhirnya aku menyebut namaMu juga. Tolonglah saya, saya ingin bertanggung jawab dengan semua yang saya lakukan dan  memeperbaiki semuanya. Tuhan, sekalipun saya ingin mati. Tapi tetap saja saya tak ingin mati. Saya ingin bertanggung jawab dengan yang saya lakukan selama ini. Tapi maukah Engkau member saya kesempatan untuk memperbaiki hidup saya. Ayau hidup saya cukup berjalan sampai satu jam tiga puluh menit kedepan. Ah … kenapa keraguan tentang adanya Tuhan mendadak menyerang saya. Tapi saya juga bukan pemuja setan, hal yang akan saya lakukan semata-mata karena saya begitu ketakutan dan depresi, dan merasa masalah yang saya hadapi tidak ada jalan keluarnya. Saya tidak mau merokok atau memakai obat atau mengkonsumsi minuman keras. Yang katanya bisa memberi ruang pada  otak, semua hanya menunda masalah yang ada. Dan membawa saya pada alam halusinasi yang menyakitkan kepala setelah terbangun dan sadar. 


Saya sebenarnya malu pada Tuhan bila mengambil jalan ini. Seolah-olah kasih sayang Tuhan pada saya selama ini menguap hilang. Seolah-olah Tangan Tuhan yang perkasa tidak mempu menolong saya. Dan saya tahu kalau saya sedang mengecilkan daya upaya Tuhan untuk menolong saya. Tapi bisakah Tuhan menolong saya dalam waktu sesingkat ini seperti dia membelah laut merah untuk Musa . Tanpa proses lama yang harus dipelajari maknanya seperti biasanya. Saya tidak membutuhkan proses sekarang, saya butuh sesuatu yang instan sebelum waktu satu jam lima belas menit ini habis. Bila saya meminta tolong maka sama saja saja seperti meminjam uang pada rentenir. Yang dipinjam sedikit, tapi bunganya mencekik leher. Dan jiwa saya adalah taruhannya. Menjadi babunya, siapa pula yang mau. Tuhan maafkan saya, tapi, bisakah Engkau membelah lautan untuk saya dalam waktu sebelas jam ini. Sepasukan besar masalah yang saya buat sendiri sedang menyerang saya. Bahkan saya tidak bisa menangis, ada bagian hati saya yang mati Tuhan. Dan tidak mampu mencerna kepedihan untuk dilampiaskan menjadi tangis.


Saya hanya sendiri disini, saya pikir tak penting juga untuk berbagi. Toh apapun yang dirasakan hati dan otak saya, hanya saya yang merasakan. Orang lain tak akan merasakan sekalipun ia ikut menangis bersama saya. Atau tertawa bersama saya. I can’t trust somebody.
Saya ingin melompat saja, seperti lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Tubuhmu Membiru Tragis, saya tahu nantinya kepala saya akan pecah dan otak dan darah saya akan berceceran. Dan itu pasti sangat menjijikan dan menakutkan bagi orang yang membersihkan. Aku heran pada manusia. Mereka tidak jijik atau takut pada daging atau jeroan atau apapun dari bagian tubuh binatang yang patah, terpotong atau hancur. Tapi mengapa mereka begitu takut pada bagian tubuh manusia yang mati. Dan begitu jijik pada bagian tubuh manusia. Apakah ini bagian dari kecerdasan akal manusia. Saya akan mati melayang dulu, kalau tidak mati, mungkin saya akan diam di rumah sakit dengan badan patah dan hancur serta kemungkinan cacat permanen. Bila saya sadar, maka saya akan meminta dokter menyuntik mati saya. Daripada buang-buang uang di rumah sakit. Toh tujuan saya kan mati, bukan hidup sekalipun normal atau cacat. Ya Tuhan, apakah semua ini adalah efek dari sebuah keputusasaan yang saya rasakan. Bahkan music rock yang membuat saya mau hidup muda seribu tahun lalu pun enggan saya dengarkan. Kepala saya sakit. Saya  ingin mati hari ini, semoga saya bisa mati hari ini. 


Saya keluar kamar, dengan earphone yang jacknya tidak terpasang di perangkat apapun,  di telinga saya, saya tidak ingin mendengar apapun dan tidak ingin berbicara dengan siapapun, berbicara bisa membuat mood saya berubah, bisa membuat saya ingin hidup seribu tahun lagi dan membuat saya melupakan masalah saya, padahal masalah itu tidak bisa saya selesaikan. Saya lelah, lelah sekali, tapi entah kenapa ada bagian dari otak saya yang bilang kalau ini bukan saatnya untuk mati. Tapi saya langsung membuang jauh-jauh pikiran itu. Saya menaiki sebuah angkutan umum dan duduk di sebelah supir dengan harapan kalau supir itu bukanlah orang yang suka ngobrol dengan penumpang. Dan menatap bayangan saya di kaca spion. Begitu pucat, tidak bergairah dan begitu kusam. Kemudian asyik dengan khayalan saya lagi. 


Saya turun di sebuah pusat perbelanjaan, naik ke lantai paling atas yang penuh dengan tanaman hidroponik diam disana. Aku diam dan merenung, ya, sejak tadi memang aku hanya merenung. Aku harus mati hari ini. Kendatipun dalam hatiku ada sedikit rasa takut untuk mati. Dan itu makin terasa ketika waktu sudah berjalan dua jam sejak aku memutuskan untuk mati. 


Aku mau mati, ya mati. Dengan cara melompat dari sini. Aku tidak akan berlama-lama berdiri di tepian gedung, membuat drama agar orang-orang berteriak mencegahku. Atau menunggu bantuan dari pemadam kebakaran atau tim SAR untuk menolongku dan mencegahku terjun bebas. Sungguh drama, aku akan langsung terjun tanpa menunggu orang mencegahku atau seorangpun tahu tentang keberadaanku. Dan mungkin aku akan mengagetkan mereka dengan mayatku yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian seperti buah jatuh dari pohonnya.


Sebelum dua belas jam dan tanpa berfikir panjang lagi, aku melompat, dan rasanya begitu singkat, begitu indah melihat semuanya dari atas dan hanya samar saja terdengar jeritan seorang wanita dan bunyi debam tubuhku saat menyentuh tanah dan gemeretak tulang-tulangku yang patah. Aku menutup mataku untuk terakhir kali sebagai seorang pecundang. Ya, aku mati setidaknya setelah semua kata selesai aku mati. Maafkan aku Tuhan, ibu, ayah dan adik-adikku.



Pondok Maranatha, 16 Mei 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Clariderm, Buat Yang Mau Putih Mending Ga Usah Nyoba

Review Home Snow Vanishing Cream

Review Vitacid 0.025 ( Retinoic Acid)