La Cigarette
Aku menyalakan batang rokok pertama
dan terakhirku hari ini. Setiap hari aku menjatahi diriku sendiri sebatang
rokok kretek. Mengapa aku tidak memilih filter atau mild yang katanya lebih
aman. Alasannya, aku tak suka rasa manis pada ujung batang rokok.
Aku bukan perokok berat, bagiku
merokok adalah pelepasan, pelepasan segala macam penat dan segala inspirasi,
aku merasa keren bila merokok, membayangkan aku dapat menghasilkan karya
masterpiece sambil menghirup asap yang terasa agak pahit di lidah, dan meskipun
semuanya kulakukan diam-diam saat semua orang telah tertidur pulas.
Sekarang aku membayangkan sebuah
khayalan sederhana yang dapat kugambarkan lewat asap putih rokok. Mungkin semua
ini terjadi karena nikotin telah mulai bekerja pada system syarafku. Dan
membuat aku lebih merasa rilex dalam merangkai cerita yang kutangkan lewat
kata-kata yang ku ketik pada keyboard laptopku.
Cerita kumulai, dan diawali oleh
pertemuan tokoh pertama dan tokoh kedua di depan sebuah toko pagi itu, karena hujan
yang turun tiba-tiba. Keduanya tidak membawa payung. Dan mereka harus berjalan kaki menuju tempat mereka
bekerja. Terpaksa mereka berteduh di depan toko itu. Karena dari sekian banyak
toko yang berderet disitu, hanya toko itu yang mempunyai atap tambahan. Yang
sebenarnya digunakan sebagai tempat promosi barang dagangan yang dijual toko
itu. Tapi dalam kondisi kepepet seperti ini, atap itu bisa digunakan untuk
berteduh. Sang tokoh pertama yang adalah lelaki, melirik pada tokoh kedua yang
merupakan wanita yang sudah berdandan rapi dengan rambut dan tubuh berbau wangi
dan gincu berwarna merah menyala serta eyeliner dan mascara hitam yang
membingkai matanya. Serta blush on merah yang membuat pipinya bersemu segar.
Tokoh pertama merogoh sakunya dan mengeluarkan bungkusan rokok dan pematiknya,
ia memandang hujan dengan tatapan setenang mungkin. Sedang si tokoh kedua
memandang hujan yang turun di pohon rindang itu dengan begitu gelisah. Lelaki
itu menyalakan rokoknya, dan menghisapnya dalam-dalam. Membiarkan asapnya
menari-nari di udara basah pagi itu. Ia pun menatap pengemis tua yang tertidur
pulas di sampingnya. Udara dingin hujan memang cocok untuk tidur. Dan ia
menatap seekor anjing jalanan yang sibuk mengorek-ngorek tong sampah sebuah
klub malam di depan mereka. Anjing itu mendapatkan rezeki sepotong roti, dan ia
segera memakannya dalam hitungan detik.
Si tokoh kedua masih menatap langit
yang mencurahkan air. Sebentar-sebentar ia menatap jam tangannya dengan
gelisah, dan mengutuki dirinya mengapa lalai membawa payung. Padahal bulan ini
adalah permulaan musim hujan. Kemudian menatap tokoh pertama yang Nampak
tenang-tenang saja. Rasanya ia ingin menangis, kalau ia telambat bosnya akan
memarahinya habis-habisan. Bahkan mengancam akan memecatnya. Apalagi kepala
bagian yang baru saja pindah ke luar kota. Disiplinnya minta ampun. Terlambat
semenit saja ia bisa di damprat habis-habisan. Hari ini kepala bagiannya adalah
orang baru. Mudah-mudahan saja ia tidak sekejam kepala bagian pertama. Ia
berdoa Tuhan menghentikan hujan. Meski hanya 10 menit lamanya. Jangan berharap
pagi ini ada ojek payung. Anak-anak yang biasanya menawarkan jasa ojek payung
pasti sibuk sekolah pagi ini. sang tokoh kedua kembali menatap langit. Ia
berencana akan berlari, tapi ia tahu kalau ia akan basah kuyup sampai disana.
Tokoh pertama masih dengan tenang
menatap langit yang hujan. Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia melirik
motornya, pasti ia pun akan kebasahan bila menembus hujan yang derasnya seperti
ini. pengemis tua di sebelahnya terbangun pelan-pelan. Masih menguap, dan
memandang murung ke arh langit. Pasti penghasilannya hari ini sedikit. Karena
orang-orang tidak bisa berlalu lalang, disebabkan oleh hujan yang turun hari
ini. Dan sepertinya akan turun sepanjang hari ini. Perutnya meronta minta
diisi, makanya ia semalam memilih tidur, karena ia memang belum makan sejak
kemarin dan badannya lemas sekarang. Laki-laki itu melirik pengemis tua yang
usianya kira-kira sebaya dengan ayahnya di kampong. Laki-laki tua itu menatap
anjing di depan klub malam tadi yang sedang mengais-ngais sampah disana. Tokoh
kedua mengeluarkan bungkusan nasi dari tas ranselnya, dan tanpa berkata apapun
ia memberikan bungkusan itu pada pengemis tua itu. Serta beberapa batang rokok.
Laki-laki tua itu mengucapkan terimakasih, dan tokoh kedua meliriknya, dan
dalam hatinya mengagumi kebaikan tokoh pertama.
Mereka tidak berbicara, bahkan
sampai tokoh kedua memutuskan untuk berlari menentang hujan yang deras agar
tidak dimarahi manager barunya, yang ia belum tahu siapa. Dan si tokoh pertama
tetap berada ditempat itu, menghisap
batang demi batang rokoknya. Dan menciptakan awan-awan putih bersih bernikotin. Dan berhenti saat
hujan mulai berhenti pula. Tanpa ada kata dan seulas senyum saja ia
meninggalkan sang pengemis tua dan anjing liar yang sekarang sedang tertidur
pulas karena kekenyangan dan dipeluk udara dingin.
Ia memacu motornya, berhenti di
sebuah restoran sederhana bergaya prancis dan duduk di sudut bagian restoran
itu. Menunggu pelayan menanyakan pesanan padanya. Ia ingin bekerja, tapi inilah
pekerjaannya. Pekerjaannya adalah menunggu, dan yang ditunggunya belum juga
datang. Mungkin orang itu terjebak hujan. Atau mungkin orang itu tidak datang,
kemudian setelah menunggu sekian lama. Akhirnya orang itu menelponnya dan
bilang kalau ia tidak jadi datang.
Ah…itu sudah biasa. Bukankah menunggu adalah pekerjaannya dan ia memang
dibayar untuk itu. Dan untuk mendengarkan, juga bila diminta ia memberi solusi.
Bila tidak, ia memilih diam saja. Ia memang lebih suka diam daripada
mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu.
Pelayan datang menanyakan
pesanannya. Ia sedikit kaget, bahwa ternyata sang pelayan adalah tokoh kedua.
Bajunya kering, tapi rambutnya masih basah. Ia menyebutkan pesanannya, dan
tokoh kedua mencatatnya. Kemudian kembali ke belakang.tokoh pertama
mengeluarkan bungkus rokoknya dan mulai menyalakan batang rokok pertamanya.
Saat seorang wanita yang sangat cantik dengan dandanan yang cukup tebal datang
dan duduk di depannya, wanita itu cantik, tapi lebih cantik lagi bila ia tidak
usah berdandan saja.
Ia
menatap wanita itu, wanita itu tersenyum padanya. Mereka berdua berbicara, dan
laki-laki itu tampak sangat tenang menghadapi wanita itu, sejak pagi ia memang
menunggunya. Mereka pergi berdua, setelah puas ngopi dan mengobrol di kafe itu.
Dan setelah batang rokok terakhir habis. Dan sebelum pergi si wanita memberinya
setumpuk uang yang di terima dengan wajah datar oleh laki-laki itu dan tanpa
ucapan terimakasih. Laki-laki itu
selesai membayar dan memberikan tip pada tokoh kedua. Tokoh kedua amat
senang, karena tip yang diberikan tokoh pertama lebih besar daripada pelanggan
mereka biasanya, mungkin karena ia iba melihatnya menembus hujan tadi pagi.
Tapi masa bodoh saja, yang penting uang tip kali ini cukup untuk biaya sekolah
adik bungsunya, yang duduk di kelas dua SMA. Laki-laki itu pergi. Sejak itu ia
tidak pernah melihat laki-laki itu lagi. padahal ia ingin bertemu sekali lagi.
di tengah hujan yang mengguyur deras di pagi-pagi yang
Komentar